Biodata

Biodata
Nuralita Armelia Safitri
Universitas Gunadarma
Ahmad.Nasher

           
Tak kenal maka tak sayang. Maka dari itu izinkan saya untuk memperkenalkan diri pada tulisan kali ini.

Saya adalah seorang mahasiswa bernama lengkap Nuralita Armelia Safitri yang biasa dipanggil Lita. Saya lahir di Jakarta, tepatnya di Rumah Sakit Ibu dan Anak Muhammadiyah, pada tanggal 26 Januari tujuh belas tahun yang lalu. Sampai saat ini, saya merupakan seorang anak tunggal.

Saya bersekolah di sebuah SD negeri yang berlokasi di Gandaria Utara, lanjut menuju SMPN 68 Jakarta, dan meneruskan ke SMAN 66 Jakarta dengan prodi IPA. Mungkin tidak ada yang menarik pada diri saya, tetapi pengalaman saya sekiranya cukup menarik untuk diceritakan. Maka dari itu, dengan maksud untuk mengenal diri saya lebih jauh, saya akan menulis segelintir pengalaman yang pernah saya alami selama hidup tujuh belas tahun lebih delapan bulan empat hari di dunia ini.
              
              Mulai dari tingkat dasar, saya dikenal sebagai sosok anak yang pintar namun nakal. Bukan dalam arti sering melawan orangtua, tetapi lebih ke arah ‘selalu ingin tahu’. Dari rasa ingin tahu tersebutlah banyak orang menyebut saya anak yang nakal. Contohnya tidak jauh dari kenakalan masa kecil yang banyak bocah lainnya alami. Seperti main perosotan pada pegangan tangga, main di lapangan dekat masjid sampai tidak ingat rumah, selalu main ke tempat yang jauh—yang bahkan belum pernah didatangi sebelumnya—tanpa pengawasan orangtua, bahkan membayar tukang angkot menggunakan daun, dan masih banyak lagi.
            
            Lanjut ke tahap menengah. Tidak ada suatu hal menarik yang dapat saya ceritakan karena masa SMP saya berjalan biasa saja. Karena masa masa itu saya isi dengan belajar, belajar, dan belajar maka saya anggap perjalanan saya selama masa sekolah menengah terbilang b aja. Sekedar info, sekolah menengah saya merupakan salah satu dari deretan sekolah terbaik di Jakarta pada masanya. Maka dari itu tidak heran jikalau pihak sekolah mendorong murid muridnya untuk menjadi yang terbaik dengan belajar, belajar, dan belajar.
            
           Masuk ke masa SMA, masa yang digadang gadang sebagai masa yang paling membahagiakan. Tapi anehnya saya tidak pernah merasakan kebahagiaan tersebut selama masa sekolah saya di sana.
             
               Hal ini berawal saat saya memutuskan untuk mengikuti ekstrakulikuler paskibra. Awalnya sih senang senang saja. Bertemu orang baru, teman baru, tradisi baru, dan semua yang baru baru. Tapi lama kelamaan, saya merasa jengah dengan semua itu. Tradisinya yang menurut saya tidak manusiawi, orang orangnya yang seperti singa PMS, teman teman yang hanya bisa mengeluh tanpa aksi. Semuanya. Semuanya salah dan tidak ada yang benar kala itu. Sempat terlintas di pikiran saya—dan teman teman—untuk mundur dan menyudahi itu semua.
            
               Siapa yang tahan ketika anak remaja diperlakukan layaknya tentara? Siapa yang tahan saat waktu kami disabotase dengan rentetan latihan tiada henti dan jadwal lomba yang terus menerus di tengah jadwal sekolah yang padat? Siapa yang tahan jika harus menahan nafsu dengan cara tidak jajan demi menabung untuk membayar uang kas yang jumlahnya tidak kecil dan denda kesalahan saat lomba? Siapa yang tahan saat salah kami mendapat hukuman seakan kami adalah tentara yang kalah dalam medan perang?
             
             Kala itu kami berjumlah 18 orang, dan mudah bagi kami untuk mengatakan keluar. Tetapi kami memilih bertahan, seakan terngiang kata ‘PECUNDANG’ di benak kami masing masing jika kami kalah pada keadaan.
             
         Dan sekarang kami baru sadar, bahwa ada hikmah yang kami dapat dari kesengsaraan di atas. Kami tidak menyesal untuk memilih bertahan.
             
         Banyak teman teman saya mengatakan, “Lo bego banget sih mau aja diperbudak sama si *beep*. Uang lo juga dikuras abis sama dia sampe sampe lo ngga jajan dan lo masih berpikir untuk bertahan?! Otak lo di mana?!”
             
         Banyak orang yang berkata demikian, dengan berbagai versi dan intonasi. Tapi jawaban saya kala itu hanya satu. Cukup dengan sebuah senyum kecil dan gedikan bahu sebagai jawabannya.
             
           Tidak perlu membalas cacian yang mereka lontarkan karena mereka tidak pernah tahu cerita di balik itu semua. Mereka tidak pernah tahu bagaimana rasanya ketika memiliki teman yang dapat diandalkan, teman yang selalu hadir saat sulit tetapi jarang hadir saat senang, memiliki keluarga yang berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Mereka tidak pernah merasakan.
             
              Sekali lagi, kami beruntung karena memilih bertahan. Kami, terutama para perepuan mendapatkan pelajaran yang tidak bisa kami dapat ketika di kelas. Kami ditempa menjadi perempuan kuat yang memiliki tanggung jawab tinggi, jiwa korsa, sopan santun, tata krama, lugas berbahasa, cerdas, cermat, hemat, dan masih banyak lagi.

Intinya, kami para kaum hawa dididik untuk tidak hanya mengenal apa itu lipstick dan blush on, tetapi bagaimana caranya untuk bisa sejajar dengan para kaum adam. Baik secara kedudukan, maupun derajat.

Jika ditanya, apakah kami sengsara? Iya. Apakah kami tertekan? Sangat. Tetapi jika kala itu kami menyerah, mungkin kami sekarang akan meraung menangisi mengapa kehidupan yang sesungguhnya sangatlah keras. Dan beruntungnya, kami sudah punya sedikit bekal untuk menghadapi itu semua.

Satu jargon yang akan selalu saya ingat, jargon ini selalu dikatakan oleh pelatih saya—si *beep* tadi—saat menghadapi waktu waktu sulit dan saat akan turun ke medan perlombaan. Begini bunyinya,

“Seorang pemenang, tahu dari mana ia berasal. Dan seorang juara, tahu apa yang harus ia lakukan.”

Terdengar klise dan simpel, tapi sesungguhnya banyak makna dari untaian kalimat di atas. Seorang pemenang, tahu dari mana ia berasal dapat diartikan jika kita sudah menjadi pemenang atas apa yang kita inginkan, jangan sekali kali lupa dengan yang di bawah. Tetap harus down to earth dan humble. Dan seorang juara, tahu apa yang harus ia lakukan mengartikan tidak ada kata puas untuk seorang juara. Sebagai seorang juara, justru langkah selanjutnya yang kita ambil adalah berkerja dengan lebih giat dan lebih keras untuk bisa menggapai apa yang kita inginkan di tahap yang lebih tinggi.

Walaupun terdengar klasik, pengalaman yang saya tuliskan di atas merupakan tonggak sejarah yang sangat berharga dalam kehidupan saya. Banyak aspek dalam diri saya yang berubah kearah yang lebih baik setelah tiga tahun saya mengabdikan diri di dalamnya. Saran dari saya, jangan mudah menyerah pada keadaan. Jangan takut untuk mencoba sesuatu yang baru, dan terus tingkatkan winning mental dalam diri Anda sekalian.

Sebelum biodata ini berubah dan menyaingi biografi dari Justin Bieber, ada baiknya saya sudahi sampai di sini. Sampai bertemu di tulisan lain yang lebih menarik dan lebih bermanfaat. Dadah~~~ Annyeong! Ppyong!




Kesimpulan:
Saya adalah saya. Saya bukan Anda. Dan saya bukanlah Kalian. I have no thoughts to adjust them, so don’t try to fit me into your thoughts. Dibesarkan oleh Ibu yang super disiplin dan Ayah yang sangat berpikir kritis membuat saya dinilai dingin dan berperangai seperti kaca. Memperlakukan lawan seperti lawan memperlakukan saya. Tapi saya rasa perangai tersebut sedikit demi sedikit hilang, dan digantikan dengan saya yang lebih menyenangkan. Jadi, ayo berteman! ^^

Sumber: Nuralita Armelia Safitri

Komentar

Postingan Populer